Tantangan Entrepreneurship 4.0, Siapkah Kita?


Hamdani, SE.,M.Si, Konsultan UMKM Aceh

BANDA ACEH | Artikel | Perubahan teknologi telah merubah segalanya. Teknologi telah memberikan andil besar terhadap perubahan perilaku manusia dewasa ini. Inilah era revolusi industri 4.0 yang mulai mempengaruhi perilaku semua orang tak terkecuali perilaku entrepreneur.

Lingkungan yang semakin dinamis memaksa sebagian besar manusia yang hidup di zaman ini untuk menyusuaikan diri dan mengubah cara berpikir menjadi kunci utama keberhasilan seseorang dalam mempertahankan eksistensi diri.

Selain itu memandang perubahan itu sendiri sebagai sebuah tantangan baru yang dapat melahirkan berbagai peluang emas.

Kita sudah menyaksikan dan mengalami sendiri, perekonomian di Indonesia pernah mengalami masa sulit yang ditandai dengan kenaikan harga BBM, diikuti merangkaknya harga-harga bahan pokok lainnya.

Ini menjadi peringatan bagi kita bahwa perubahan selalu ada disekitar kita, dan itu dapat terjadi kapan saja. Karenanya menuntut kita untuk dapat menyikapi segala perubahan itu dengan sikap yang positif.

Di era 4.0 lingkungan yang sangat kontras terlihat perubahan adalah pada perkembangan teknologi. Saat ini kustomisasi teknologi informasi kian mudah diciptakan. Tujuan penciptaan pun sangat bervariasi untuk beragam kepentingan. Jika dikaitkan dengan entrepreneur maka semua diarahkan pada kepentingan bisnis.

Entrepreneurship 4.0 memang agak berbeda dengan era-era sebelumnya. Dulu pada orde 1.0 entrepreneur lebih mengandalkan kerja keras, dalam arti do thing, pokoknya lakukan sesuatu saja. Pada masa itu (abad17-18) entrepreneurship lebih mengedepankan konsep produksi.

Bahkan pengusung teori entrepreneurship pada abad tersebut mengatakan ‘entrepreneurship’ sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

Lalu beranjak ke entrepreneurship 2.0 pada era ini, semangat entrepreneurship lebih bertumpu pada motivasi hasil akhir. Bahkan para pengikut entrepreneur 2.0 ramai-ramai mengajak orang untuk menjadi kaya. Cara pandang serba instan sempat menjadi momok entrepreneurship 2.0.

Anda mungkin masih ingat bagaimana best seller nya buku-buku Robert T. Kiyosaki dengan konsep bebas finansial yang ia kempanyekan.

Kemudian memasuki entrepreneurship 3.0 atau lebih dikenal dengan konsep human entrepreneur.

Konsep entrepreneurship for humanity digagas oleh Presiden International Council for Small Business (ICSB) Ki-Chan Kim dari Korea Selatan. Ia berpandangan, model manajemen di era kapitalisme saat ini harus mengarah pada ‘entrepreneurship for humanity’, yang mana perusahaan tidak harus meminta karyawan untuk bekerja keras, melainkan membantu mereka menikmati pekerjaannya, dan mewujudkan mimpi mereka dengan bekerja.

Era 3.0 lebih mengedepankan sikap penghormatan terhadap nilai-nilai humanis. Faktor sumber daya manusia harus dipandang sebagai elemen penting bagi pengusaha dan perusahaan sebagai jembatan untuk menciptakan kebahagiaan bagi pelanggan. Karena perusahaan harus terlebih dahulu membahagiakan karyawannya.

Bagaimana entrepreneurship 4.0?

Inilah era dimana spritualitas menjadi prinsip. Lihatlah bagaimana konsep hidup yang saat ini dijalani oleh Bill Gates, sang milyuner dunia. Ia selalu menyisikan sebagaian waktu untuk memberikan manfaat lebih bagi orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dan pertolongan. Jack Ma dengan share ekonomy concept.

Ditanah air juga e-commerce besar seperti toko pedia, lazada, Go-Jek, dan platform lainnya mengusung model ekonomi berbagi. Itulah sebenarnya yang dimaksud sebagai salah satu wujud spritualpreneurship 4.0. Ia berkaitan dengan prinsip, iman, dan ikhtiar. Bahwa rezeki itu datangnya dari sang Pemberi Rezeki.

Dalam konteks ini pakar entrepreneur Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Dr. Iskandarsyah Madjid, SE.,MM mengatakan saat seseorang harus memiliki iman yang relatif kuat untuk tidak tersesat, karena perkembangan teknologi yang sangat cepat dan masif. Katanya jangan sampai manusia menuhankan teknologi. Iskandar melihat bahwa tingkat kecerdasan buatan (artificial inteligence) yang dimiliki oleh teknologi saat sudah melampaui kecerdasan rata-rata manusia.

Maka diantara spritualpreneurship yang dikembangkan dalam era IR 4.0 adalah seperti ini:

Niat baik

Mulailah semua aktivitas dengan niat yang baik, karena dengan niat yang baik akan menjadi sebab melahirkan akibat yang baik.

Berikan apa yang orang minta

Berikanlah apapun yang orang minta kepada kita meskipun dia orang kaya. Namun berikanlah seikhlas hati. Semakin besar rasa ikhlas yang kita miliki semakin besar keberuntungan yang bakal didapat.

Berbakti kepada kedua orang tua

Kalau ingin beruntung dan sejahtera, usahakan dan niatkan untuk memberikan rezeki yang kita peroleh kepada kedua orang tua kita. Karena berbakti kepada kedua ibu bapak sebagai sumber datangnya rezeki.

Terapkan formula 1234

Bagilah penghasilan kita kepada orang-orang yang juga berhak menerima dari sebagian harta yang kita peroleh, diantaranya 10 persen untuk zakat, infak dan shadaqah, 20 persen untuk pengembangan diri (biaya belajar, kuliah, training, dll), 30 persen untuk bayar utang, tabung dan investasi, dan 40 persen untuk biaya hidup rutin.

Pebanyak silaturrahmi

Perbanyaklah silaturrahmi dan bangunlah jaringan pertemanan dan network bisnis agar pintu-pintu rezeki terbuka lebar. Usahakan menambah saudara, teman dan relasi baru setiap hari.

Shalat mengundang rezeki

Selain dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, shalat juga berfungsi sebagai penghubung langsung antara hamba dengan Tuhannya untuk tujuan mengagungkan Nya, mensyukuri nikmat Nya serta dengan begitu akan Dia tambahkan nikmat dan karunia Nya lebih besar lagi.

Pebanyak Istighfar

Isitghfar bermakna memohon ampun kepada Tuhan. Dengan mengakui segala dosa yang telah kita perbuat, hidup menjadi lebih leluasa dan lapang dada. Energi bersalah selalu membawa pikiran gelap dan sulit mengembangkan kreativitas.

Memperbanyak Istighfar membuat kita mendapatkan rezeki yang tidak disangka-sangka. Orang yang memperbanyak Istighfar, maka Allah akan menjadikan kemudahan dalam setiap kesusahan, dan memberikan jalan keluar dari setiap kesempatan, dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangkanya.

Nah itulah beberapa hal yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengisi semangat entrepreneurship 4.0 bagi bangsa Indonesia. Memang poin-poin diatas sangat erat dekat dengan islamic spirit.

Namun seorang sosiolog barat bernama Peter L. Bernstein pun mengakui kalau ajaran Islam memang mengandung etos yang menghargai kerja keras untuk mencapai kesejahteraan ekonomi.

Ia mengatakan bahwa etos bisnis Islam bahkan lebih kuat dari ajaran mana pun, termasuk etika Protestan yang menjadi spirit kapitalisme di Eropa Barat, seperti yang ditulis oleh Max Waber.

Sehingga spritualpreneurship 4.0 menjadi salah satu ibadah dan mendapatkan ganjaran pahala disisi Tuhan karena ia menyumbang kepada sumber rezeki individu dan keluarga.

Dengan memadukan kreativitas berpikir, teknologi dan spirit iman yang kuat, membuat kegiatan kewirausahaan sukses dunia dan akhirat. Daya kreativitas dan inovasi bisa membuat seseorang berjuang untuk memanfaatkan seluruh kemampuannya.

Maslow menggambarkan orang seperti ini sebagai orang yang mengaktualisasikan diri. Orang yang mengaktualisasikan diri memiliki dorongan yang luar biasa hebat untuk menemukan berbagai peluang bagi dirinya sendiri, dan menyingkirkan hal-hal yang membatasinya. He Bex Model pun mengajarkan “creative or doe.”

Semoga rencana Plt Gubernur Aceh yang ingin mencetak 1.000 saudagar baru bisa terwujud dan bukan sekedar basa-basi politik ditengah krisisnya jumlah entrepreneur muda di Aceh. Sekaligus mempertimbangkan konsep Entrepreneurship 4.0 dengan nilai-nilai Syariat Islam sebagai sprituality values.(*)

Penulis: Hamdani, SE.,M.Si (Konsultan Pendamping UMKM) Email: hamdani.aceh@gmail.com

Pengusaha Garam Aceh Siap Membantu Pemerintah Menurunkan Stunting


Masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya atau yang disebut stunting kian menjadi perhatian serius pemerintah Aceh.

Saat ini jumlah kasus prevalensi stunting di provinsi ujung barat Sumatera itu berada pada posisi ketiga terbesar di Indonesia setelah NTT dan Sulbar dengan 37,3% pada 2018 sedangkan rata-rata nasional hanya 30,8%. Namun standar WHO hanya pada batas toleransi 20%.

Namun begitu Pemerintah Aceh telah mampu menurunkan prevalensi stunting dari 41,5% di 2013 menjadi 37,3% pada 2018. Itu artinya Pemerintah Aceh menyelamatkan 18 ribu balita dari stunting.

Meski demikian, Aceh tetap harus bekerja keras karena saat ini berada di peringkat ketiga prevalensi stunting tertinggi di Indonesia.

Pemerintah Aceh telah mendeklarasikan ‘Geunting’ atau ‘Gerakan Upaya Pencegahan dan Penanganan Stunting’ di Lapangan Blangpadang, Banda Aceh, Minggu (3/3) silam. ‘Geunting’ merupakan gerakan khusus di Aceh dengan misi untuk pengentasan stunting.

Menurut hasil penelitian Ramadhan at al (2018) dengan memggunakan metode survei yang dilakukan pada bayi di bawah lima tahun tentang determinasi penyebab stunting di Privinsi Aceh ditemukan bahwa penyebab utama adalah karena faktor ASI eksklusif.

Tetapi sunting dapat pula disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Bahkan mengkonsumsi garam yang tidak beriodium pun dapat menyebabkan stunting.

Provinsi Aceh yang dikenal sebagai daerah yang memiliki garis pantai yang panjang namun untuk saat ini kebutuhan garam dosmestik masih mendatangkan garam dari Madura dan garam yodium yang telah diproses dari Medan Sumatera Utara (Sumut).

Untuk kebutuhan garam lokal, Aceh masih mengandalkan hasil garam rakyat yang pada umumnya belum beriodium. Garam rakyat yang dihasilkan dengan cara merebus air tua atau memasak langsung air laut.

Hanya beberapa tahun belakangan ini saja Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh mulai memperkenalkan teknologi baru bagi petani garam yaitu lahan terintegrasi, sistim tunnel, dan perpaduan keduanya.

Namun berbeda halnya dengan Kabupaten Bireun, di Kecamatan Jangka, tepatnya di Gampong (desa) Tanoh Anoe justru ada seorang penguasa garam yang sangat peduli pada kebutuhan garam bagi masyarakat Aceh dan membantu pemerintah dalam menurunkan stunting di Aceh.

Qurrata Aini (40 tahun) pemilik UD Milhy Jaya dengan tekad kuat dan tanpa kenal lelah berhasil mengembangkan usaha penggaraman ber-SNI dan memiliki sertifikat halal dari MUI di wilayahnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap garam konsumsi beriodium.

Menurut Qurrata Aini pemerintah saat ini sudah melakukan hal yang tepat. Bergerak secara cepat untuk mengatasi tingginya kasus stunting di Aceh. Pihaknya sangat mendukung kebijakan dan aksi cepat dan tepat tersebut. Bahkan ia pun siap jika diajak oleh Pemerintah Aceh untuk bekerja sama.

Sebagai bukti bahwa pemerintah serius mengatasi stunting, pengusaha muda wanita ini pun menunjukkan bukti, di wilayah Kecamatan Peusangan dan Bireun pada umumnya tenaga pendamping desa ditegaskan untuk lebih fokus pada pencegahan stunting.

Meskipun baru menerapkan pola pencegahan melalui asupan makanan bergizi bagi balita di posyandu. Namun hal itu telah membuktikan jika pemerintah Kabupaten Bireun tidak tinggal diam dalam mengatasi stunting.

Sementara langkah pencegahan stunting yang berfokus pada garam beriodium hanya baru dilakukan oleh beberapa kecamatan saja, diantaranya Kecamatan Plimbang dan Kecamatan Peusangan.

Padahal penyebab lain tingginya stunting di Aceh juga dipengaruhi oleh konsumsi garam non yodium. Tesis ini dapat dibuktikan dengan temuan sebaran populasi stunting banyak terdapat di daerah pesisir.

Oleh karena itu sebagai wujud tanggung jawab dirinya sebagai pengusaha garam selain melakukan pemberdayaan masyarakat di sekitar usaha, Qurrata Aini juga aktif melakukan sosialisasi pencegahan stunting dengan memberikan edukasi tentang betapa pentingnya mengkonsumsi garam beriodium kepada masyarakat.

Melalui kerja sama dengan pihak kecamatan, peran UD Milhy Jaya semakin dirasakan manfaatnya oleh warga, terutama warga Kecamatan Plimbang dan Peusangan dalam hal pengetahuan tentang garam konsumsi beriodium.

Untuk kecamatan lain di wilayah Kabupaten Bireun mungkin juga telah melakukan hal yang sama seperti di Kecamatan Plimbang dan Peusangan, namun mereka melalui arahan pendamping desa lebih fokus pada garam beriodiyum dari Pulau Jawa.

“Harusnya pemerintah lebih fokus pada produk garam beriodiyum lokal, disamping membantu dalam hal promosi, pada akhirnya juga dapat meningkatkan pendapatan asli daerah melalui retribusi,” tutup Qurrata Aini. (*)